Fokuspembaca.com, Tangerang – Politisi muda Partai Nasdem Kota Tangerang Mohammad Fadhlin Akbar digadang-gadang bakal mendampingi sosok politikus PSI Faldo Maldini pada Pilkada serentak 2024.
Putra mantan Gubernur Banten perioden 2017-2022 Wahidin Halim (WH) dikabarkan sempat ingin disandingkan dengan calon wali kota dari Partai Golkar Sachrudin. Namun, kata WH, Ketua DPD Partai Golkar Kota Tangerang itu tidak merespon.
“Dia [Sachrudin] digandengnya enggak mau. Kita sudah bolak balik komunikasi, tetapi enggak mau. Diulur-ulur aja. Ia mungkin karena [Sachrudin] pede atau tidak menangggap kita kali,” ujar WH, Rabu, 3 Juli 2024 kemarin.
WH mengaku sempat mengutus orang kepercayaannya untuk menemui Sachrudin. Namun, dalam pertemuan itu tidak membuahkan hasil dengan harapan anaknya Mohammad Fadlin Akbar dapat mendampingi Sachrudin maju dalam Pilkada Kota Tangerang.
“Kita mah sudah mulai dari awal sudah melakukan pendekatan, tapi kan politik emang begitu kan. Ketika kita merasa tidak ditanggapi, ia kita cari lain,” ungkapnya.
Mantan Wali Kota Tangerang dua periode ini juga memberikan alasan lain. Dia ingin menghadirkan kepimpinan anak muda di Kota Tangerang dan sosok Mohammad Fadlin Akbar dengan Faldo Maldini adalah sosok yang tetap. Selain itu, ia juga ingin mematahkan isu di Pilkada Kota Tangerang 2024 Sachrudin bakal melawan kotak kosong.
“Kita selalu kumandangkan, saya bilang jangan sampai ada bumbung kosong, itu kan mendistorsi demokrasi. Kalau seumpama seorang lawan ada partai tertentu untuk bersatu melawan bumbung kosong, kita di sini anak-anak muda, generasi-generasi para pencerah ada dimana adanya,” katanya.
“Masa kita biarkan saja demokrasi digerogoti dan dimonopoli oleh partai tertentu, kan ada indikasi arah kesana. Bahwa semua yang ada di Kabupaten/Kota dan Banten itu mau dihadirkan bumbung kosong enggak ada lawan,” sambung WH.
WH juga tidak menginginkan demokrasi hanya dikuasai partai tertentu. Oleh karena itu apabila itu terjadi maka prinsip demokrasi sudah tidak ada.
“Tangerang Kota termasuk begitu cara berpikir mereka, mereka akan menguasai tidak secara demokratis, mereka akan membeli partai, lalu mereka berharap akan tidak lawan. Di dalam demokrasi itu, prinsip tidak ada lawan itu sudah tidak sesuai lagi. Dan harus ada lawan. Harus ada pemain ada timpalannya. Kalau main sendiri tidak ada lawan, ia bukan demokrasi namanya,” pungkasnya.