Fokuspembaca.com, Tangerang – Idul Adha adalah hari raya atau hari besar kedua bagi umat Islam setelah hari raya Idul Fitri. Hari raya Idul Adha jatuh setiap tanggal 10 Dzulhijjah menurut kalender Hijriah atau 70 hari setelah hari raya Idul Fitri.
Momen Idul Adha yang diperingati oleh umat Islam setahun sekali ini erat hubungannya dengan kisah Nabi Ibrahim pada masa lalu yakni ketika diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih Nabi Ismail putra kandungnya ketika berusia tujuh tahun.
Dosen Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Fakulitas Hukum UNPAM Tangsel, Halimah Humayrah Tuanaya menyebutkan, ada tiga tokoh penting dalam perayaan Idul Adha, Ibrahim, Ismail, dan Hajar. Sayangnya tokoh yang ketiga itu seringkali terlupakan publik. Sayyidati lebih dikenal ‘Siti’ Hajar adalah isteri dari Nabi Ibrahim yang dikarunia anak Ismail.
Nabi Ibrahim berkurban dengan menyembelih Ismail lebih dikenal publik dibanding persitiwa pencarian air di tengah tandusnya padang pasir untuk keberlangsungan hidup Ismail.
“Ini menunjukkan, dari dahulu perjuangan yang dilakukkan perempuan hanya dilihat sebagai hal yang biasa-biasa saja, tidak atau kurang berarti,” ujar Halimah yang juga Pengurus Pimpinan Pusat Aisyiyah, Minggu (16/6/2024).
Momen Idul Adha sejatinya tidak menafikan perjuangan, pengorbanan dan peran Hajar. Apa yang dilakukan Hajar merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. Ia ditempatkan di padang pasir yang tandus tanpa bekal, berjuang dengan gigih mempertahankan hidup diri dan anaknya Ismail. Jadi sudah sepatutnya hanya mengagumi pengorbanan Nabi Ibrahim, tapi juga Siti Hajar.
Dalam konteks kekinian, perempuan masih belum menjadi perhatian penuh negara. Perempuan harus berjuang saat mengandung dan melahirkan anak. Berdasarkan data Maternal Perinatal Death Notification (MPDN), sistem pencatatan kematian ibu Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu pada 2022 mencapai 4.005 dan pada 2023 meningkat menjadi 4.129.
Ditengarai, salah satu penyebab tingginya angka kematian Ibu adalah terlambatnya merujuk Ibu ke Fasilitas Kesehatan yang memadai. Alih-alih mendapatkan layanan kesehatan yang memadai, melalui media masa kita masih sering menyaksikan perempuan harus ditandu menuju Puskesmas untuk melahirkan karena jalanan yang rusak.
Perjuangan perempuan tidak berhenti setelah melahirkan, dan merawat hingga anak-anak. Ia juga harus menjaganya dari ancaman kekerasan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat kasus kekerasan terhadap anak mencapai 24.158 kasus sepanjang 2023, dan 10.932 merupakan kasus kekerasan seksual.
“Sayang, pemerintah tidak serius menyikapi tingginya angka kekerasan seksual. Sudah lewat waktu, pemerintah hanya mampu menerbitkan dua dari tujuh peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Padahal UU TPKS memandatkan agar peraturan pelaksanaannya diterbitkan paling lambat dua tahun,” tandas Halimah.