Fokuspembaca.com- Angka pernikahan di Indonesia semakin turun dari tahun ke tahun. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyoroti fenomena baru terkait mundurnya usia perkawinan di tengah-tengah upaya menurunkan prevalensi stunting di Indonesia saat ini.
Angka pernikahan mengalami penurunan signifikan pada 2023, mencapai rekor terendah dalam satu dekade terakhir dengan hanya 1,58 juta pernikahan, dibandingkan puncaknya pada tahun 2013 yang mencapai 2,21 juta pernikahan.
Sementara pada pertengahan tahun 2023 prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6 persen, padahal target yang ingin dicapai pemerintah adalah 14 persen pada 2024.
Dalam sebuah wawancara daring dengan RRI Pro 3 FM, Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan, dan Informasi (Adpin) BKKBN, Sukaryo Teguh Santoso, menyoroti pergeseran perilaku masyarakat terkait hubungan seksual di luar nikah yang semakin meningkat.
Menurut Sukaryo Teguh, BKKBN belum memiliki data atau penelitian yang menyeluruh terkait fenomena penurunan jumlah perkawinan di beberapa daerah.
Ia menekankan perlunya kajian komprehensif untuk memahami fenomena ini dengan lebih baik, termasuk aspek-aspek psikologi, sosial, dan ekonomi yang mungkin menjadi penyebabnya.
“Sumber datanya harus jelas, apakah lembaga-lembaga yang menyelenggarakan perkawinan melaporkan atau tidak. Ada KUA, keuskupan, dan lembaga lainnya yang harus dievaluasi,” ujar Sukaryo Teguh.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa ada beberapa pandangan yang mengaitkan penurunan minat menikah dengan meningkatnya beban hidup dan prioritas karier. Namun, ia menekankan perlunya data yang solid untuk mendukung asumsi tersebut.
Sukaryo juga memperingatkan tentang risiko dari hubungan seksual di luar nikah, yang diyakininya menjadi isu krusial. Menurutnya, hal ini dapat menyebabkan disharmoni dalam keluarga dan bahkan berujung pada perceraian.
Dalam konteks ini, BKKBN juga mencatat bahwa terdapat peningkatan angka hubungan seksual di luar nikah pada usia yang semakin muda, sebagaimana ditunjukkan oleh data mengenai Age Specific Fertility Rate (ASFR) 10-15 tahun.
Sukaryo menekankan perlunya pencegahan terhadap perilaku ini karena berisiko secara medis, psikologis, dan sosial.
Terkait dengan Total Fertility Rate (TFR), BKKBN mencatat angka positif sebesar 2,18, yang menunjukkan efektivitas program Keluarga Berencana (KB). Namun, tantangan disparitas tetap signifikan, dengan TFR tertinggi tercatat di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan DKI Jakarta.
Sukaryo Teguh mengingatkan bahwa keberhasilan pengelolaan populasi sebuah wilayah juga dipengaruhi oleh faktor migrasi, selain kelahiran dan kematian. Oleh karena itu, perlunya pendekatan holistik dalam menangani isu-isu populasi dan keluarga di Indonesia.
Sorotan BKKBN terhadap fenomena mundurnya usia perkawinan dan meningkatnya hubungan seksual di luar nikah menjadi panggilan bagi masyarakat dan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah preventif dan intervensi yang lebih efektif guna menjaga harmoni keluarga dan kesejahteraan generasi mendatang. (Ivon)